Pro Kontra Wacana Prabowo Pilih Kepala Daerah Lewat DPRD
Bali, PaFI Indonesia — Keinginan Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dipilih lewat DPRD menimbulkan pro kontra di publik. Hal itu awalnya disampaikan Prabowo saat berpidato dalam acara HUT ke-60 Golkar di Sentul, Bogor, Kamis (12/12).
Prabowo menganggap pilkada lewat DPRD bisa menekan anggaran negara. Menurut dia, uang itu bisa digunakan untuk program lain yang lebih penting bagi masyarakat.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo.
Sebagian menilai wacana itu perlu segera ditindaklanjuti dan sepakat dengan pendapat Prabowo untuk menekan anggaran.
Bersamaan dengan itu, penolakan terhadap wacana itu juga nyaring. Pilkada lewat DPRD dinilai hanya akan memindahkan praktik politik uang dari rakyat ke elite partai.
Dukungan dari parpol
Mayoritas partai politik di DPR menyambut positif usul Prabowo agar pilkada cukup dipilih lewat DPRD. Mereka yang menyatakan setuju di antaranya PKB, NasDem, Golkar, PAN, hingga PKS.
“Ide untuk mengevaluasi pemilihan langsung di level pilkada, itu saya kira saya mendukung. PKB juga mendukung. Soal mekanismenya, apakah langsung DPRD? Apakah semua (oleh) DPRD? Mari kita diskusikan bersama,” kata Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin(, Jumat (13/12).
Ketua DPP PKS Al Muzammil Yusuf juga berpendapat pilkada langsung harus dievaluasi. Selain memakan anggaran yang besar, pilkada langsung berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.
“PKS mendukung wacana pilkada melalui DPRD yang disampaikan Presiden Prabowo. Sudah saatnya pelaksanaan pilkada langsung dievaluasi secara menyeluruh,” kata Muzammil dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio meyakini pilkada lewat DPRD bisa mengefisiensi penggunaan anggaran negara. PAN, kata dia, mendukung positif wacana tersebut.
“Kami percaya masyarakat menginginkan pemimpin yang fokus bekerja, bukan sibuk dengan politik elektoral yang menghabiskan energi dan biaya. PAN mendukung penuh upaya efisiensi ini demi pemerintahan daerah yang lebih efektif,” kata Eko, Selasa (17/12).
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Irawan mengusulkan pilkada lewat DPRD hanya diberlakukan untuk gubernur dan wakil gubernur.
Irawan berpendapat gubernur hanya kepanjangan pemerintah pusat di daerah. Sementara, menurut Irawan, bupati dan wali kota tetap dipilih secara langsung oleh masyarakat.
“Paling bagus menurut saya memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Pertimbangan adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi untuk bupati/wali kota, lebih bagus untuk tetap langsung,” kata Irwan dalam keterangannya, Selasa (17/12).
Belakangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut mendukung usulan Prabowo untuk mengubah sistem pilkada melalui DPRD, sehingga tak lagi dipilih secara langsung.
Hal ini diputuskan dalam Taujihad Mukernas IV MUI tahun 2024 yang digelar di Jakarta, 17-19 Desember 2024. MUI berpandangan pilkada secara langsung banyak mendatangkan mudarat dan dampak negatif di tengah masyarakat.
Bertalian dengan itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menilai usulan Prabowo merupakan wacana baik yang perlu dipertimbangkan. Menurut dia, usulan itu menyangkut soal efisiensi anggaran dan kondisi kerawanan di tengah masyarakat jika pilkada langsung tetap digelar.
Dia pun mengusulkan para partai politik melakukan kajian mendalam terkait efek dari pilkada langsung selama ini. Apalagi, melihat tren penurunan partisipasi masyarakat di pilkada langsung
“Kalau kemudian ternyata itu menimbulkan efek atau gejolak di masyarakat, kemudian terjadi inefisiensi, uang negara habis dan ternyata juga hasilnya tidak maksimal, tentu perlu kajian yang lebih dalam,” kata Supratman di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12).
Penolakan masyarakat sipil
Sementara itu, usulan Prabowo Subianto mengembalikan pemilihan tak langsung lewat DPRD dalam pilkada dinilai tidak menjadi solusi atas tingginya ongkos politik langsung.
Usulan itu dianggap hanya memindahkan masalah dari ruang publik, yaitu masyarakat, ke ruang yang lebih privat di balik tembok-tembok para anggota dewan. Sementara itu, akar masalah politik uang yang justru berasal dari internal parpol justru tak tersentuh.
“Kita seolah hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup di DPRD,” kata pemerhati kepemiluan sekaligus dosen FISIP UI Titi Anggraini, Senin (16/12).
Pemilihan kepala daerah lewat DPRD mungkin bisa menekan biaya yang dikeluarkan oleh negara. Namun, kata Titi, hal itu tidak serta-merta menghapus praktik politik uang dan politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya.
“Karena yang menjadi akar persoalannya, yaitu buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki,” tuturnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah pun menilai usulan Prabowo terkesan ingin mengamputasi partisipasi warga.
Menurut Hamzah, tak semua partisipasi warga harus diwakili oleh DPRD. Selain itu, kata dia, dengan situasi saat ini, tak mudah untuk sepenuhnya percaya pada wakil masyarakat di parlemen.
“Bagaimana mungkin kemudian publik kemudian mempercayakan suaranya kepada mereka?” Kata Castro saat dihubungi, Senin (16/12).
Castro menilai pilkada tak langsung lewat DPRD hanya akan membuat prosesnya beralih ke ruang-ruang gelap kekuasaan. Dia juga ragu pemilihan bisa berjalan dengan adil.